Pada
dasarnya customer dianggap sebagai sasaran. Karena itu, mereka harus di-brainwash lewat iklan. Supaya mereka
percaya akan pesan yang berhubungan dengan suatu brand atau produk. Prinsipnya, one-to-many.
Setelah
teknologi informasi berkembang lebih jauh, berubah pula apa yang disebut customer relationship marketing. Lewat
teknologi pada era ini, pemasar bisa meng-customise
pesannya, berinteraksi dua arah, bahkan punya kesempatan untuk meng-customise paket yang ditawarkan.
Interaksi ini disebut one-to-one
marketing.
Dengan
teknologi internet, ceritanya jadi lain lagi. Sebab, sangat mudah bagi
pelanggan untuk berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian, pemasar hanya
jadi salah satu pihak yang berinteraksi dengan para pelanggan. Semua pihak,
tanpa batas dan real time, bisa
berinteraksi secara bebas. Dengan demikian, marketing
bergeser lagi jadi many-to-many.
Pergeseran-pergeseran
tersebut semakin menaikkan harkat customer.
Mulai hanya target person, lantas
jadi individual person, dan sekarang
jadi social person.
Saat
jadi target person, customer disurvei supaya diketahui need and want mereka. Saat itu tugas marketing adalah membuat produk atau
solusi yang bisa meng-address
kebutuhan dan kemauan itu.
Ketika
customer jadi individual person, need and want tidak cukup lagi. Lewat
interaksi CRM, pemasar mencoba mengerti expectation
and perception mereka.
Apa
harapan pelanggan dan persepsi dia terhadap pemasar sangatlah penting untuk
memuaskan mereka. Karena itulah, pada era tersebut konsep customer satisfaction jadi sangat populer. Tujuannya, memuaskan
customer satu per satu.
Sekarang,
ketika jadi social person, customer
tidak hanya berinteraksi dengan pemasar. Tetapi, dengan mudah mereka saling
berinteraksi. Variabel yang memengaruhi ekspektasi dan persepsi pun jadi
multiarah. Dengan demikian, pemasar harus makin mendalami pengertiannya
terhadap customer.
Itulah
yang disebut anxiety and desire.
Kecemasan dan hasrat yang sering tidak terucapkan walaupun ditanya. Bisa karena
sensitif atau mungkin memang tidak disadari customer sendiri.
Seorang
perempuan, ketika ditanya apakah look
sexy itu suatu need and want,
belum tentu menjawab iya. Padahal, secara umum, perempuan sangat gelisah ketika
merasa tidak seksi. Atau malah ada hasrat terpendam untuk jadi seksi. Tapi,
kalau anxiety and desire itu bisa
ditangkap, sebuah brand bisa
memberikan hope, bahkan bisa jadi hero. Bagaimana pendapat Anda? (*)
Oleh:
Hermawan Kartajaya
No comments:
Post a Comment