PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
|
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
|
|
NOMOR PER-65/PJ/2010
|
NOMOR : PER-24/PJ/2012
|
|
TENTANG
|
TENTANG
|
|
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK NOMOR PER-13/PJ./2010 TENTANG BENTUK, UKURAN, PROSEDUR
PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, TATA
CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK
|
BENTUK, UKURAN, TATA CARA PENGISIAN
KETERANGAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA
PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK
|
|
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
|
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
|
|
Menimbang :
|
Menimbang :
|
|
a.
bahwa untuk memberikan kemudahan
dan kepastian hukum bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam membuat
Faktur Pajak dan menatausahakan Faktur Pajak;
|
bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Bentuk, Ukuran, Tata
Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan,
Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak;
|
|
b.
bahwa untuk memberikan kepastian
hukum bagi Pengusaha Kena Pajak yang berpartisipasi dalam skema pengembalian
Pajak Pertambahan Nilai kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri;
|
||
c.
berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b diatas, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ./2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur
Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata
Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak;
|
||
Mengingat :
|
Mengingat :
|
|
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
|
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5069);
|
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
|
|
3.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau
Penggantian Faktur Pajak;
|
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271);
|
|
4.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
76/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan
Kembali Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor
Luar Negeri;
|
4.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau
Penggantian Faktur Pajak;
|
|
5.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-13/PJ./2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam
rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau
Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak;
|
||
6.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-20/PJ./2010 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Kewajiban Toko Retail serta
Kantor Pelayanan Pajak yang Mengelola Administrasi Pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri;
|
||
MEMUTUSKAN :
|
MEMUTUSKAN :
|
|
Menetapkan:
|
Menetapkan :
|
|
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
PER-13/PJ./2010 TENTANG BENTUK, UKURAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA
PEMBUATAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, TATA CARA PEMBETULAN ATAU
PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK.
|
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG BENTUK, UKURAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, PROSEDUR
PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN,
DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK.
|
|
Pasal 1
|
Pasal 1
|
|
Dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini yang dimaksud dengan:
|
Dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini yang dimaksud dengan :
|
|
1.
Pajak adalah Pajak Pertambahan
Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
1.
Pajak adalah Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
|
2.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
|
||
3.
Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
|
||
2.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
|
4.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
|
|
3.
Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur
Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender.
|
5.
Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur
Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang
Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan
kalender.
|
|
6.
Pengusaha Kena Pajak yang
selanjutnya disebut PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
|
||
4.
Pengusaha Kena Pajak Pedagang
Eceran adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai
berikut:
|
7.
Pengusaha Kena Pajak Pedagang
Eceran adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya melakukan :
|
|
a.
penyerahan Barang Kena Pajak dengan
cara sebagai berikut :
|
||
a.
melalui suatu tempat penjualan
eceran, seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari satu tempat
konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
|
1)
melalui suatu tempat penjualan
eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat
konsumen akhir lainnya;
|
|
b.
dengan cara penjualan eceran yang
dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran
tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
|
2)
dengan cara penjualan eceran yang
dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran
tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
|
|
c.
pada umumnya penyerahan Barang Kena
Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau
pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.
|
3)
pada umumnya penyerahan Barang Kena
Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau
pembeli langsung menyerahkan atau membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya;
atau
|
|
b.
penyerahan Jasa Kena Pajak dengan
cara sebagai berikut :
|
||
1)
melalui suatu tempat penyerahan
jasa secara langsung kepada konsumen akhir atau langsung mendatangi dari satu
tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
|
||
2)
dilakukan secara langsung kepada
konsumen akhir, tanpa didahului penawaran tertulis, pemesanan tertulis,
kontrak, atau lelang; dan
|
||
3)
pada umumnya pembayaran atas
penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan secara tunai.
|
||
5.
Toko Retail adalah toko yang
menjual Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, serta berpartisipasi dalam skema pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai kepada Orang Pribadi, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak.
|
||
8.
Nomor Seri Faktur Pajak adalah
nomor seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pengusaha
Kena Pajak dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa
kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak
|
||
9.
Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah
Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau mencantumkan
keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan
yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
||
10.
Registrasi Ulang Pengusaha Kena
Pajak adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan,
penertiban administrasi, pengawasan, dan untuk menguji pemenuhan kewajiban
subjektif dan objektif Pengusaha Kena Pajak.
|
||
11.
Verifikasi adalah serangkaian
kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau
penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau
berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh
Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak,
menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
||
12.
Kode Aktivasi adalah kode yang
berupa karakter yang dapat terdiri dari angka, huruf, atau kombinasi angka
dan huruf yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak kepada PKP melalui surat
pemberitahuan kode aktivasi.
|
||
13.
Password adalah kode yang berupa
karakter yang dapat terdiri dari angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf
yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak kepada PKP melalui surat elektronik
(email).
|
||
Pasal 2
|
Pasal 2
|
|
(1)
Faktur Pajak harus dibuat pada:
|
(1)
Faktur Pajak harus dibuat pada :
|
|
a.
saat penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak;
|
a.
saat penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak;
|
|
b.
saat penerimaan pembayaran dalam
hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
b.
saat penerimaan pembayaran dalam
hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|
c.
saat penerimaan pembayaran termin
dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
|
c.
saat penerimaan pembayaran termin
dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
|
|
d.
saat Pengusaha Kena Pajak rekanan
menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
|
d.
saat PKP rekanan menyampaikan
tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
atau
|
|
e.
saat lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
||
(2)
Faktur Pajak Gabungan harus dibuat
paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak.
|
(2)
Faktur Pajak Gabungan harus dibuat
paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak.
|
|
Pasal 3
|
Pasal 3
|
|
(1)
Bentuk dan ukuran formulir Faktur
Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak.
|
(1)
Bentuk dan ukuran Faktur Pajak
disesuaikan dengan kepentingan PKP.
|
|
(2)
Bentuk dan ukuran formulir Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat sebagaimana contoh pada
Lampiran IA dan Lampiran IB Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
|
(2)
Bentuk dan ukuran Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat sebagaimana contoh pada
Lampiran IA dan Lampiran IB yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
|
Pasal 4
|
Pasal 4
|
|
(1)
Pengadaan formulir Faktur Pajak
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
(1)
Pengadaan Faktur Pajak dilakukan
oleh PKP.
|
|
(2)
Faktur Pajak paling sedikit dibuat
dalam 2 (dua) rangkap yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut :
|
(2)
Faktur Pajak paling sedikit dibuat
dalam 2 (dua) rangkap yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut :
|
|
a.
Lembar ke-1, disampaikan kepada
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
|
a.
Lembar ke-1, disampaikan kepada
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
|
|
b.
Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha
Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak.
|
b.
Lembar ke-2, untuk arsip PKP yang
menerbitkan Faktur Pajak.
|
|
(3)
Dalam hal Faktur Pajak dibuat lebih
dari yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka harus
dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam lembar Faktur Pajak yang
bersangkutan.
|
(3)
Dalam hal Faktur Pajak dibuat lebih
dari yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka harus
dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam lembar Faktur Pajak yang
bersangkutan.
|
|
Pasal 5
|
||
Faktur Pajak harus memuat
keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang paling sedikit mencantumkan :
|
||
a.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
||
b.
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
|
||
c.
jenis barang atau jasa, jumlah
Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
|
||
d.
Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut;
|
||
e.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang dipungut;
|
||
f.
kode, nomor seri, dan tanggal
pembuatan Faktur Pajak; dan
|
||
g.
nama dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak.
|
||
Pasal 5
|
Pasal 6
|
|
(1)
Faktur Pajak harus diisi secara
lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan keterangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya, serta
ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak
untuk menandatanganinya.
|
(1)
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 wajib diisi secara lengkap, jelas dan benar serta
ditandatangani oleh PKP atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh PKP untuk
menandatanganinya.
|
|
(3)
Faktur Pajak yang tidak diisi
secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan Faktur Pajak cacat.
|
(2)
Faktur Pajak yang tidak diisi
secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh PKP atau
pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatanganinya sesuai dengan
tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.
|
|
(3)
Alamat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a dan huruf b harus diisi sesuai dengan alamat yang sebenarnya
atau sesungguhnya.
|
||
(4)
Dalam hal alamat PKP yang
sebenarnya atau sesungguhnya berbeda dengan alamat dalam Surat Keterangan
Terdaftar atau Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus memberitahukan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan untuk meminta perubahan alamat dalam
Surat Keterangan Terdaftar atau Surat Pengukuhan PKP agar sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
|
||
(5)
Jenis barang atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf c harus diisi dengan keterangan yang sebenarnya
atau sesungguhnya mengenai Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
diserahkan.
|
||
(2)
Dalam hal diperlukan, Pengusaha
Kena Pajak dapat menambahkan keterangan lain dalam Faktur Pajak selain
keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN
Tahun 1984 dan perubahannya.
|
(6)
Dalam hal diperlukan, PKP dapat
menambahkan keterangan lain dalam Faktur Pajak selain keterangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
|
|
(4)
Dihapus.
|
||
(5)
Tata cara pengisian keterangan pada
Faktur Pajak adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
(7)
Tata cara pengisian keterangan pada
Faktur Pajak adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
|
Pasal 6
|
Pasal 7
|
|
(1)
Pengusaha Kena pajak harus
menerbitkan Faktur Pajak dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
|
(1)
PKP harus membuat Faktur Pajak
dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
|
|
(2)
Kode Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
|
(2)
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu :
|
|
a.
2 (dua) digit Kode Transaksi;
|
a.
2 (dua) digit Kode Transaksi;
|
|
b.
1 (satu) digit Kode Status;dan
|
b.
1 (satu) digit Kode Status; dan
|
|
c.
3 (tiga) digit Kode Cabang.
|
c.
13 (tiga belas) digit Nomor Seri
Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
|
(3)
Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
|
||
a.
2 (dua) digit Tahun Penerbitan;dan
|
||
b.
8 (delapan) digit Nomor Urut.
|
||
Pasal 8
|
||
(1)
PKP mengajukan surat permohonan
Kode Aktivasi dan Password ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan
sesuai dengan formulir sebagaimana diatur dalam Lampiran IVA yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
||
(2)
Surat permohonan Kode Aktivasi dan
Password sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan lengkap dan
disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan.
|
||
(3)
Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan
Kode Aktivasi dan Password ke PKP dalam hal PKP memenuhi syarat sebagai
berikut :
|
||
a.
PKP telah dilakukan Registrasi
Ulang Pengusaha Kena Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP terdaftar
berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 dan
perubahannya dan laporan hasil registrasi ulang/verifikasi menyatakan PKP
tetap dikukuhkan; atau
|
||
b.
PKP telah dilakukan verifikasi
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012.
|
||
(4)
Dalam hal PKP memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kantor Pelayanan Pajak :
|
||
a.
menerbitkan surat pemberitahuan
Kode Aktivasi yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Pelayanan atas nama
Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IVB yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
dan dikirim melalui pos dalam amplop tertutup ke alamat PKP; dan
|
||
b.
mengirimkan Password melalui surat
elektronik (email) ke alamat email PKP yang dicantumkan dalam surat
permohonan Kode Aktivasi dan Password.
|
||
(5)
Surat pemberitahuan Kode Aktivasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dibuat dalam 2 (dua) rangkap yang
peruntukannya masing-masing sebagai berikut :
|
||
a.
Lembar ke-1, disampaikan kepada
PKP.
|
||
b.
Lembar ke-2, untuk arsip Kantor
Pelayanan Pajak.
|
||
(6)
Dalam hal PKP tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat
pemberitahuan penolakan Kode Aktivasi dan Password sebagaimana diatur dalam
Lampiran IVC yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dalam 2 (dua) rangkap yang peruntukannya masing-masing
sebagai berikut :
|
||
a.
Lembar ke-1, disampaikan kepada
PKP.
|
||
b.
Lembar ke-2, untuk arsip Kantor
Pelayanan Pajak.
|
||
(7)
Dalam hal surat pemberitahuan Kode
Aktivasi dan surat pemberitahuan penolakan tidak diterima oleh PKP dan
kembali pos (kempos), Kantor Pelayanan Pajak akan memberitahukan informasi
tersebut melalui surat elektronik (email) ke alamat email PKP yang
dicantumkan dalam surat permohonan Kode Aktivasi dan Password.
|
||
(8)
PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dan/atau ayat (7) dapat mengajukan kembali surat permohonan Kode Aktivasi dan
Password ke Kantor Pelayanan Pajak setelah memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan/atau telah menyampaikan surat pemberitahuan
perubahan alamat ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan prosedur
pemberitahuan perubahan alamat.
|
||
(9)
Dalam hal PKP tidak menerima
Password sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b karena kesalahan
penulisan alamat email pada Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password, PKP
harus mengajukan permohonan update email.
|
||
(10)
Surat pemberitahuan Kode Aktivasi
yang hilang dapat dimintakan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak dengan
melampirkan fotokopi surat keterangan kehilangan dari kepolisian dan bukti
penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak atas surat permohonan Kode
Aktivasi dan Password.
|
||
(11)
Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan
surat pemberitahuan Kode Aktivasi atau surat pemberitahuan penolakan Kode
Aktivasi dan Password dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
setelah permohonan diterima.
|
||
(12)
Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak tanggal surat pemberitahuan Kode Aktivasi dicetak, DJP dapat melakukan
aktivasi kembali (re-aktivasi) atas Kode Aktivasi yang telah dimiliki oleh
PKP melalui surat pemberitahuan Kode Aktivasi yang dikirim melalui pos ke
alamat PKP yang bersangkutan.
|
||
Pasal 9
|
||
(1)
PKP menyampaikan surat permintaan
Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran IVD yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan.
|
||
(2)
Surat permintaan Nomor Seri Faktur
Pajak harus diisi secara lengkap dan disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat PKP dikukuhkan.
|
||
(3)
Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan
surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Lampiran
IVE yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini ke PKP yang telah memenuhi syarat sebagai berikut :
|
||
a.
telah memiliki Kode Aktivasi dan
Password; dan
|
||
b.
telah melaporkan SPT Masa PPN untuk
3 (tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara berturut-turut
pada tanggal permintaan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak.
|
||
(4)
PKP yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), tidak dapat diberikan Nomor
Seri Faktur Pajak.
|
||
(5)
Surat pemberitahuan Nomor Seri
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh Kepala
Seksi Pelayanan atas nama Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan dibuat dalam 2
(dua) rangkap yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut :
|
||
a.
Lembar ke-1, disampaikan kepada
PKP.
|
||
b.
Lembar ke-2, untuk arsip Kantor
Pelayanan Pajak.
|
||
(6)
Surat pemberitahuan Nomor Seri
Faktur Pajak yang hilang, rusak, atau tidak tercetak dengan jelas, dapat
dimintakan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menunjukkan surat
permintaan Nomor Seri Faktur Pajak.
|
||
Pasal 10
|
||
(1)
PKP yang membuat Faktur Pajak
dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak
yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh
Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak
Tidak Lengkap.
|
||
(2)
Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak
digunakan dalam suatu tahun pajak tertentu dilaporkan ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat PKP dikukuhkan bersamaan dengan SPT Masa PPN Masa Pajak Desember
tahun pajak yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana diatur
dalam Lampiran IVF yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
|
||
Pasal 11
|
||
(1)
Dalam hal PKP pindah tempat
kegiatan usaha yang wilayah kerjanya berada di luar wilayah Kantor Pelayanan
Pajak tempat PKP dikukuhkan sebelumnya, maka PKP yang bersangkutan harus
mengajukan permohonan Kode Aktivasi dan Password sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) ke Kantor Pelayanan Pajak yang membawahi tempat kegiatan usaha PKP
yang baru dengan menunjukkan asli pemberitahuan Kode Aktivasi dari Kantor
Pelayanan Pajak sebelumnya.
|
||
(2)
Dalam hal PKP pindah tempat
kegiatan usaha yang wilayah kerjanya berada di luar wilayah Kantor Pelayanan
Pajak tempat PKP dikukuhkan sebelumnya, maka PKP masih dapat menggunakan
Nomor Seri Faktur Pajak yang belum digunakan.
|
||
Pasal 12
|
||
Dalam hal PKP melakukan pengisian
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Faktur
Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.
|
||
Pasal 7
|
||
(1)
Penggunaan Kode Cabang pada Kode
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c adalah
sebagai berikut :
|
||
a.
Pengusaha Kena Pajak yang telah
melakukan pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang, yang :
|
||
a.1sistem penerbitan Faktur
Pajak-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor
Cabang-nya;dan/atau
|
||
a.2Kantor Pusat dan/atau
Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Kawasan
Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau
mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor dan/atau berada di Kawasan
Ekonomi Khusus;
|
||
Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak
ditentukan sendiri secara berurutan, yaitu diisi dengan kode '000' untuk
Kantor Pusat dan dimulai dari kode '001' untuk Kantor Cabang; atau
|
||
b.
bagi Pengusaha Kena Pajak yang :
|
||
b.1tidak melakukan pemusatan;atau
|
||
b.2melakukan pemusatan selain
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
|
||
Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak
diisi dengan kode '000'
|
||
(2)
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis atas Kode Cabang yang digunakan beserta keterangan dari Kode Cabang
tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan penggunaan Kode
Cabang, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IVA
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
||
(3)
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan mengubah peruntukan Kode Cabang
yang telah digunakan.
|
||
(4)
Penambahan dan/atau pengurangan
Kode Cabang dapat dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
||
(5)
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas
penambahan dan/atau pengurangan penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang
dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah :
|
||
a.
bulan diterbitkannya Faktur Pajak
dalam hal terjadi penambahan Kantor cabang, atau
|
||
b.
terjadinya pengurangan Kantor
Cabang,
|
||
dengan menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IVB Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini
|
||
(6)
Dalam hal terjadi Pengurangan Kode
Cabang akibat adanya penutupan Kantor Cabang, maka Pengusaha Kena Pajak :
|
||
a.
harus menghentikan penggunaan Kode
Cabang pada Kode Faktur Pajak atas Kantor Cabang yang ditutup;dan
|
||
b.
tidak boleh menggunakan kembali
Kode Cabang yang sudah dihentikan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
|
||
(7)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
|
||
a.
tidak atau terlambat menyampaikan
pemberitahuan penggunaan Kode Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan/atau ayat (5), maka Faktur Pajak yang diterbitkan sampai dengan
diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Cacat;
|
||
b.
menerbitkan Faktur Pajak dengan
menggunakan Kode Cabang selain dari Kode Cabang yang telah ditetapkan, maka
Faktur Pajak tersebut merupakan Faktur Pajak Cacat.
|
||
Pasal 8
|
||
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan kesalahan dalam pengisian Kode dan Nomor Seri, maka Faktur Pajak
yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak cacat.
|
||
Pasal 9
|
||
(1)
Nomor Urut pada Nomor Seri Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b dan tanggal Faktur
Pajak harus dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode
Transaksi, Kode Status Faktur Pajak dan mata uang yang digunakan.
|
||
(2)
Penerbitan Faktur Pajak dimulai
dari Nomor Urut 00000001 pada setiap awal tahun kalender mulai bulan Januari,
kecuali bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan atau Pengusaha Kena
Pajak yang pindah Kantor Pelayanan Pajak, Nomor Urut 00000001 dimulai sejak Masa
Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan atau dikukuhkan di Kantor
Pelayanan Pajak yang baru.
|
||
(3)
Dalam hal Faktur Pajak diterbitkan
oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf
a, maka Nomor Urut 00000001 dimulai pada setiap awal tahun kalender mulai
bulan Januari pada masing-masing Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya
kecuali bagi Kantor Cabang yang baru dikukuhkan, Nomor Urut 00000001 dimulai
sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan.
|
||
(4)
Dalam hal sebelum bulan Januari
awal tahun kalender berikutnya, Nomor Urut pada Faktur Pajak yang digunakan
oleh Pengusaha Kena Pajak telah mencapai Nomor Urut 99999999 (sembilan puluh
sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan
puluh sembilan), maka Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak
yang Nomor Urut-nya dimulai lagi dari Nomor Urut 00000001.
|
||
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berlaku pula bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) yang Nomor Urut pada Faktur Pajak-nya di Kantor Pusat atau di
Kantor-Kantor Cabangnya telah mencapai Nomor Urut 99999999 (sembilan puluh
sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus
sembilan puluh sembilan).
|
||
(6)
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang dilakukan, paling lama pada
akhir bulan berikutnya setelah bulan Nomor Urut 00000001 digunakan kembali,
dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
||
(7)
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus menerbitkan Faktur Pajak dengan
Nomor Urut dimulai dari Nomor Urut 00000001 pada awal tahun kalender
berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
|
||
(8)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak pada
awal tahun kalender bulan Januari atau bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru
dikukuhkan pada Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menerbitkan Faktur Pajak tidak dimulai
dari Nomor Urut 00000001, maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur
Pajak cacat.
|
||
(9)
Ketentuan pada ayat (8) berlaku
pula bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||
(10)Dalam hal sebelum Masa Pajak Januari tahun berikutnya Pengusaha
Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak mulai dari Nomor Urut 00000001
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), namun Pengusaha Kena Pajak
tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan
pajak terutang dilakukan, maka Faktur Pajak yang diterbitkan sampai dengan
Masa Pajak Desember atau sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan
Faktur Pajak cacat.
|
||
Pasal 9A
|
||
(1)
Ketentuan penerbitan Faktur Pajak bagi
Toko Retail yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 16E Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, berlaku
ketentuan:
|
||
a.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri wajib menerbitkan Faktur
Pajak Khusus, dengan menggunakan nomor urut tersendiri yang terpisah dari
nomor urut Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak kepada selain orang
pribadi pemegang paspor luar negeri, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Menteri Keuangan tentang tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan
kembali Pajak Pertambahan Nilai barang bawaan orang pribadi pemegang paspor
luar negeri.
|
||
b.
Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
selain kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri, Toko Retail sebagai
Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dapat menerbitkan:
|
||
1)
Faktur Pajak dengan menggunakan
kode dan nomor seri sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang bentuk dan ukuran formulir serta tata cara pengisian keterangan
pada Faktur Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran; atau
|
||
2)
Faktur Pajak lengkap sesuai
ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dengan
menggunakan kode dan nomor seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
||
(2)
Ketentuan tentang penggunaan nomor
urut 00000001 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dan ayat (5) dan
kewajiban pemberitahuan penggunaan nomor urut 00000001 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (6) serta konsekuensi apabila menggunakan nomor urut
00000001 tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (8) dan ayat (10) juga berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak Toko Retail
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
|
||
Pasal 10
|
Pasal 13
|
|
(1)
Nama yang berhak menandatangani
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g harus diisi sesuai
dengan kartu identitas yang sah, yaitu Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin
Mengemudi, atau Paspor, yang berlaku pada saat Faktur Pajak ditandatangani.
|
||
(1)
Pengusaha Kena Pajak wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama pejabat yang berhak
menandatangani Faktur Pajak disertai dengan contoh tandatangannya kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak
bulan pejabat tersebut mulai melakukan penandatanganan Faktur Pajak dengan
menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIA Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
(2)
PKP wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis nama PKP atau pejabat/pegawai yang berhak
menandatangani Faktur Pajak disertai dengan contoh tandatangannya, dengan
melampirkan fotokopi kartu identitas pejabat/pegawai penandatangan Faktur
Pajak yang sah yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak bulan
pejabat/pegawai tersebut mulai melakukan penandatanganan Faktur Pajak, dengan
menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VA yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
|
(2)
Pengusaha Kena Pajak dapat menunjuk
lebih dari 1 (satu) orang Pejabat untuk menandatangani Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(3)
PKP dapat menunjuk lebih dari 1
(satu) orang pejabat/pegawai untuk menandatangani Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
|
|
(3)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi, memberikan kuasa
kepada pihak lain untuk menandatangani Faktur Pajak, maka Pengusaha Kena
Pajak tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama kuasa
yang berhak menandatangani Faktur Pajak disertai dengan contoh tandatangannya
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lama pada akhir bulan berikutnya
saat pihak yang diberi kuasa mulai menandatangani Faktur Pajak, dengan
menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIA Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan menyertakan Surat Kuasa Khusus
dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
||
(4)
Dalam hal terjadi perubahan pejabat
atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3), maka Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya sejak bulan pejabat
atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak, dengan menggunakan
formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIB Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
(4)
Dalam hal terjadi perubahan
pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), maka PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas
perubahan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada
akhir bulan berikutnya sejak bulan pejabat/pegawai pengganti mulai
menandatangani Faktur Pajak, dengan menggunakan formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran VB yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
|
(5)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan pemusatan tempat pajak terutang, maka pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk pula pejabat di tempat-tempat kegiatan usaha yang
dipusatkan, yang ditunjuk oleh Kantor Pusat untuk menandatangani Faktur Pajak
yang diterbitkan oleh tempat pemusatan pajak terutang yang dicetak di
tempat-tempat kegiatan usaha masing-masing.
|
(5)
Dalam hal PKP melakukan pemusatan
tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang, maka pejabat/pegawai yang telah
ditunjuk di tempat-tempat kegiatan usaha sebelum pemusatan masih dapat
menandatangani Faktur Pajak yang diterbitkan setelah pemusatan yang dicetak
di tempat-tempat kegiatan usaha masing-masing.
|
|
(6)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak
tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan
pajak terutang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat
(4), maka Faktur Pajak yang diterbitkan sampai dengan diterimanya
pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak cacat.
|
(6)
Dalam hal PKP tidak atau terlambat
menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP
dikukuhkan atau tempat pemusatan Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), maka Faktur Pajak yang
diterbitkan oleh PKP sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur
Pajak Tidak Lengkap.
|
|
Pasal 11
|
Pasal 14
|
|
Faktur Penjualan yang memuat
keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya, dan
pengisiannya sesuai dengan tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), dipersamakan dengan Faktur
Pajak.
|
Faktur Penjualan yang memuat
keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan
pengisiannya sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, dipersamakan dengan Faktur Pajak.
|
|
Pasal 12
|
Pasal 15
|
|
(1)
Atas Faktur Pajak yang cacat,
rusak, salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak
memuat keterangan yang lengkap, jelas, dan benar, Pengusaha Kena Pajak yang
menerbitkan Faktur Pajak tersebut dapat menerbitkan Faktur Pajak pengganti
yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf A Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
(1)
Atas Faktur Pajak yang rusak, salah
dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan
yang lengkap, jelas, dan benar, PKP yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut
dapat menerbitkan Faktur Pajak pengganti yang tata caranya diatur dalam
Lampiran VI huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
|
|
(2)
Atas Faktur Pajak yang hilang, baik
Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak
tersebut dapat membuat copy dari arsip Faktur Pajak yang tata caranya diatur
dalam Lampiran VIII huruf B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
|
(2)
Atas Faktur Pajak yang hilang, baik
PKP yang menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak tersebut dapat
membuat copy dari arsip Faktur Pajak yang tata caranya diatur dalam Lampiran
VI huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
|
|
(3)
Dalam hal terdapat pembatalan
transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang Faktur Pajak-nya telah diterbitkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang
menerbitkan Faktur Pajak harus melakukan pembatalan Faktur Pajak yang tata
caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf C Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
|
(3)
Dalam hal terdapat pembatalan
transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang Faktur Pajak-nya telah diterbitkan, PKP yang menerbitkan Faktur Pajak
harus melakukan pembatalan Faktur Pajak yang tata caranya diatur dalam
Lampiran VI huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
|
|
Pasal 12A
|
||
Pengusaha Kena Pajak yang
menerbitkan Faktur Pajak dengan nomor urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur
Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2),
dapat menerbitkan Faktur Pajak Pengganti dengan ketentuan sebagai berikut :
|
||
a.
Faktur Pajak yang salah pengisian
nomor urutnya diganti dengan Faktur Pajak Pengganti dengan mengisi nomor urut
pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak dengan nomor urut yang sebenarnya.
|
||
b.
Kode Status pada Kode Faktur Pajak
Pengganti adalah Kode Status 1 (satu).
|
||
c.
Tahun Penerbitan pada Nomor Seri
Faktur Pajak Pengganti adalah tahun penerbitan Faktur Pajak yang diganti.
|
||
d.
Tanggal penerbitan Faktur Pajak
Pengganti sama dengan tanggal penerbitan Faktur Pajak yang diganti.
|
||
e.
Pada Faktur Pajak Pengganti
dibubuhkan cap yang mencantumkan Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur
Pajak yang diganti.
|
||
f.
Faktur Pajak Pengganti dan Faktur
Pajak yang diganti agar diadministrasikan dan digabungkan menjadi 1 (satu)
berkas.
|
||
g.
Pengusaha Kena Pajak harus
melakukan pembetulan SPT Masa PPN pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak
dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti.
|
||
Pasal 13
|
||
(1)
Penerbitan Faktur Pajak pengganti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) atau pembatalan Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dapat dilakukan sepanjang
terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak
yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan
atau atas Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut
belum dibebankan sebagai biaya.
|
(4)
Penerbitan Faktur Pajak pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pembatalan Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan
tersebut dilaporkan masih dapat dilakukan pembetulan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
|
|
(2)
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penerbitan Faktur Pajak pengganti dan/atau pembatalan Faktur Pajak harus
melakukan pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan
tersebut dilaporkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan tersebut
dilaporkan belum dilakukan pemeriksaan.
|
(5)
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan
sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana
Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan belum dilakukan
pemeriksaan, belum dilakukan pemeriksaan bukti permulaan yang bersifat
terbuka, dan/atau PKP belum menerima Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi.
|
|
(3)
Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau
Penerima Jasa Kena Pajak yang telah melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas
Pajak Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan oleh
Pengusaha Kena Pajak Penjual, harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak yang diganti
atau dibatalkan tersebut dilaporkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan
tersebut dilaporkan belum dilakukan pemeriksaan.
|
(6)
Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau
Penerima Jasa Kena Pajak yang telah melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas
Pajak Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan oleh
PKP Penjual, harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak yang diganti atau
dibatalkan tersebut dilaporkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak yang diganti atau dibatalkan
tersebut dilaporkan belum dilakukan pemeriksaan, belum dilakukan pemeriksaan
bukti permulaan yang bersifat terbuka, dan/atau PKP belum menerima Surat
Pemberitahuan Hasil Verifikasi.
|
|
Pasal 14
|
Pasal 16
|
|
(1)
PKP yang menerbitkan Faktur Pajak
setelah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenai
sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
||
(1)
Pengusaha Kena Pajak yang
menerbitkan Faktur Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
|
(2)
PKP yang menerbitkan Faktur Pajak
setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak
seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dianggap tidak
menerbitkan Faktur Pajak.
|
|
(2)
Pengusaha Kena Pajak yang menerima
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengkreditkan
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya.
|
(3)
PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau
Penerima Jasa Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di
dalamnya sebagai Pajak Masukan.
|
|
Pasal 15
|
Pasal 17
|
|
(1)
Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi
administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP Tahun 1983 dan
perubahannya dalam hal:
|
(1)
PKP yang menerbitkan Faktur Pajak
Tidak Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4)
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
|
|
a.
menerbitkan Faktur Pajak yang tidak
memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau
tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha
Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (3);
|
||
b.
menerbitkan Faktur Pajak setelah
melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; dan/atau
|
||
c.
menerbitkan Faktur Pajak cacat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7), Pasal 8, Pasal 9 ayat (10), dan
Pasal 10 ayat (6).
|
||
(2)
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam hal Faktur Pajak tidak
memuat keterangan mengenai:
|
(2)
Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah dalam
hal Faktur Pajak tidak memuat keterangan mengenai :
|
|
a.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; atau
|
a.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; atau
|
|
b.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, dan nama dan
tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak untuk Pengusaha Kena
Pajak Pedagang Eceran.
|
b.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, serta nama dan
tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak untuk Pengusaha Kena
Pajak Pedagang Eceran.
|
|
(3)
PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau
Penerima Jasa Kena Pajak tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai
yang tercantum di dalam Faktur Pajak Tidak Lengkap sesuai dengan ketentuan
Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
|
||
(3)
Bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli
Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang:
|
||
a.
Menerima Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam
Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan.
|
||
b.
Menerima Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam
Faktur Pajak tersebut tetap dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan
sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
|
||
Pasal 18
|
||
(1)
Nomor seri Faktur Pajak yang
digunakan untuk penomoran Faktur Pajak Khusus oleh PKP Toko Retail yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16E
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri diatur secara
tersendiri mengikuti ketentuan yang mengatur tentang tata cara pengajuan dan
penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai barang bawaan orang
pribadi pemegang paspor luar negeri.
|
||
(2)
Kode dan nomor seri Faktur Pajak
yang digunakan untuk penomoran Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Pedagang Eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak mengikuti
ketentuan penomoran Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
|
||
Pasal 16
|
||
(1)
Atas penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, namun Faktur Pajak-nya belum diterbitkan, maka Faktur
Pajak harus diterbitkan dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
|
||
(2)
Atas perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak-nya diterbitkan sebelum berlakunya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang masih menggunakan Kode dan Nomor
Seri Faktur Pajak yang lama, namun Faktur Pajak-nya diterima dan/atau
dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli setelah berlakunya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, maka Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum pada
Faktur Pajak tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sepanjang memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
(3)
Penerbitan Faktur Pajak pengganti
atas Faktur Pajak yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini berlaku, menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang
ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
|
||
Pasal 17
|
Pasal 19
|
|
(1)
Sampai dengan tanggal 31 Desember
2010 Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dapat menggunakan kode dan nomor
seri khusus sebagai pengganti Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
|
(1)
Terhitung mulai tanggal 1 April
2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri
Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
|
|
(2)
Kode dan nomor seri khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa nomor invoice atau nomor
struk yang ditentukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran.
|
(2)
Permohonan Kode Aktivasi dan
Password sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan permintaan Nomor Seri Faktur
Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dapat diajukan oleh PKP mulai tanggal
1 Maret 2013.
|
|
(3)
Terhitung mulai tanggal 1 Januari
2011 seluruh Pengusaha Kena Pajak wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri
Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1).
|
||
Pasal 20
|
||
Pada saat berlakunya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata
Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 Tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan
dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan
atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-65/PJ/2010
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
|
||
Pasal 18
|
Pasal 21
|
|
(1)
Pada saat Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini mulai berlaku ;
|
Pada saat Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini mulai berlaku :
|
|
a.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-524/PJ./2000 tentang Syarat-Syarat Faktur Pajak Sederhana
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-97/PJ./2005; dan
|
a.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
PER-13/PJ/2010 Tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka
Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau
Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-65/PJ/2010 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
|
|
b.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan,
Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar,
|
b.
Ketentuan-ketentuan lain yang
mengatur tentang Faktur Pajak sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, dinyatakan tetap berlaku.
|
|
dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
|
||
(2)
Ketentuan-ketentuan lain yang
mengatur tentang Faktur Pajak sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, dinyatakan tetap berlaku.
|
||
Pasal II
|
Pasal 22
|
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2013.
|
|
Ditetapkan di Jakarta
|
Ditetapkan di Jakarta
|
|
pada tanggal 31 Desember 2010
|
pada tanggal 22 November 2012
|
|
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
|
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
|
|
ttd
|
ttd.
|
|
MOCHAMAD TJIPTARDJO
|
A. FUAD RAHMANY
|
|
NIP 195104281975121002
|
NIP 195411111981121001
|
December 10, 2012
Persandingan PER-24/PJ/2012 dengan PER-65/PJ/2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bagaimana cara pembetulan Faktur Pajak dan SPT Masa PPN karena kesalahan penomoran sehingga timbul nomor seri yang sama? Mksh
ReplyDeleteBagaimana cara pembetulan Faktur Pajak dan SPT Masa PPN karena kesalahan penomoran sehingga timbul nomor seri yang sama? Mksh
ReplyDelete